Thursday, September 17, 2009

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HONG KONG

Perang Opium

Dinasti yang terakhir berkuasa dalam sejarah Tiongkok adalah Dinasti Qing. dinasti ini berkuasa selama 268 tahun, antara tahun 1644 dan 1911 dengan sepuluh kaisar berturut-turut naik takhta di Beijing. Dinasti Qing merebut kekuasaan dari Dinasti Ming pada tahun 1644 melalui pemberontakan yang dipimpin oleh Li Zicheng.

Di bawah kekuasaan Dinasti Qing, pertanian Tiongkok berkembang cukup pesat karena perhatian pemerintah. tetapi dalam hubungan dengan luar negeri, Dinasti Qing sangat terisolasi karena cenderung menutup diri. Mereka merasa makmur dengan apa yang telah dicapainya tanpa bergantung pada dunia luar, sebaliknya dunia luar terutama Barat sangat bergantung pada barang-barang ekspor Tiongkok seperti sutera, tembikar, rempah, teh, dan porselen. barang-barang ekspor Tiongkok tersebut bermutu tinggi sehingga memberikan keuntungan yang sangat besar bagi para pedagang Eropa yang menjualnya di wilayahnya.

Dengan melihat potensi yang besar tersebut serta pasar yang menjanjikan di China tersebut , Inggris yang pertama kali berlabuh Guangzhou (Canton) pada abad ke-16 akhirnya memilih berdagang opium mulai tahun 1773 – ketika itu penggunaan opium di masyarakat China cukup luas. Inggris mendatangkan opium dari India. Strategi bisnis Inggris berjalan sukses, opium menadapatkan pasar yang luas di kalangan rakyat Guangzhou.

Banyaknya pecandu opium di Guangzhou membuat pemerintah China yang ketika itu di bawah pimpinan Kaisar Tao Kwang, pada tahun 1800 mengambil tindakan tegas dengan melarang perdagangan opium, dan pada 1839 pemerintah menyita dan memusnahkan opium di Guangzhou dan Kanton yang diimpor dari Inggris tersebut. Tindakan penguasa China ini dilakukan karena fenomena tersebut berpengaruh besar pada kondisi sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Jutaan pecandu akan membayar berapapun dan melakukan apapun untuk mendapatkan opium yang diimpor dari Inggris.

Reaksi keras penguasa China ini membuat pemerintahan Inggris memutuskan untuk melakukan perang pada tahun 1840. Perang ini dinamakan dengan Perang Opium I. Perang ini berlangsung selama tiga tahun dari 1839 hingga 1842. Perang ini dimenangkan oleh Inggris, karena kekuatan militernya lebih kuat dengan persenjataan canggih. Sejak saat itu, perdagangan opium dimulai kembali.

Perang ini menyebabkan lebih dari 30 ribu rakyat China tewas. Akhirnya penguasa China, Dinasti Qing, bersedia menandatangani perjanjian damai dengan Inggris pada 29 Agustus 1842 di atas kapal perang Inggris HMS Cornwallis di Nanjing/Nangking, sehingga perjanjian ini dinamakan Perjanjian Nanjing (Treaty of Nanjing). Isi perjanjian tersebut adalah: pertama, Cina harus membayar upeti 21 juta dolar ke Inggris sebagai ganti rugi; kedua, Cina harus membuka kembali pintu perniagaan ke dunia barat, dengan membuka pelabuhan di Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo, dan Shanghai; ketiga, China harus menyerahkan wilayah Hong Kong beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya kepada Inggris sebagai tanah jajahannya. Namun demikian penguasa China terus berupaya menghentikan perdagangan opium tersebut, sehingga beberapa tahun kemudian terjadi Perang Opium II. Dalam perang tersebut China kembali mengalami kekalahan.

Hong Kong Modern
Di bawah kekuasaan Inggris, Hong Kong dibangun di atas fondasi Demokrasi dan Liberalisme, sedangkan China merupakan pusat Sosialisme dan Komunisme di Asia. Secara geopolitik, hingga masa era Perang Dingin Hong Kong merupakan bagian dari agenda Containment Politics/Politik Pembendungan negara-negara Blok Barat untuk membendung penyebaran paham Komunisme wilayah-wilayah di sebelah selatannya (Asia Tenggara).

Setelah sekitar 156 tahun dikuasai Inggris, akhirnya Hong Kong dikembalikan kepada China pada 1 Juli 1997. Di bawah sistem kapitalisme, Hong Kong telah tumbuh menjadi pusat keuangan, perdagangan, pelayaran, logistik dan pariwisata internasional di kawasan Asia Pasifik, sehingga ketika awal kembalinya ke pangkuan China muncul kekhawatiran di kalangan luas masyarakat Hong Kong akan terjadi perubahan sistem dari demokrasi-kapitalis menjadi komunis-sosialis ala China. Rekonstruksi sistem ini tentu saja akan mengguncang ekonomi dan politik Hong Kong, apalagi ketika itu ekonomi China masih berada di bawah Hong Kong.

Menjelang pengembalian Hong Kong ke China, Deng Xiaoping, pemimpin China ketika itu, berjanji akan menerapkan konsep “satu negara dua sistem”. Konsep tersebut memberikan otonomi kepada pemerintah Hong Kong seperti pada sistem hukum, mata uang, bea cukai, imigrasi, peraturan jalan yang tetap berjalan di jalur kiri, kecuali urusan yang menyangkut pertahanan nasional dan hubungan diplomatik yang tetap ditangani oleh pemerintah pusat di Beijing. Dengan kata lain, konsep tersebut menjamin Hong Kong tetap berdiri di atas sistem kapitalis, dan China tetap berada dalam sistem sosialis.

Dalam perjalanannya, implementasi sistem ini berjalan dengan cukup baik. Bahkan ketika terjadi krisis moneter Asia pada tahun 1997, Beijing menyokong penuh pertumbuhan ekonomi Hong Kong sehingga bisa bertahan dan melaju pesat. Bersamaan dengan itu, ekonomi China juga berkembang dengan cepat sehingga taraf ekonomi masyarakat China daratan dan masyarakat Hong Kong semakin berimbang.

Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Hong Kong sangat baik setelah kembali dalam kekuasaan China. Pertama, pemerintah Hong Kong memfokuskan pengembangan sektor pariwisata sebagai sumber devisa utama. Hong Kong dibangun menjadi kota modern namun dengan tetap menampilkan eksotisme nuansa klasiknya. Kebijakan ini diambil karena sektor perdagangan ketika itu sedang lemah akibat krisis moneter Asia. Langkah ini membuahkan hasil yang memuaskan. Pada tahun 2003, perekonomian Hong Kong mengalami pertumbuhan 31%. Selama januari sampai April, 2005, jumlah turis terus meningkat sebesar 11, 1% dan mencapai 7, 41 juta orang. Hong Kong menjadi tempat persinggahan utama bagi para pebisnis yang hendak berurusan ke Cina. Para wisatawan juga banyak berdatangan dari China daratan seiring dengan pertumbuhan taraf ekonomi negara tersebut.

Kedua, Beijing menerapkan sistem satu negara dua sistem dengan konsisten, sehingga kestabilan politik tetap terjaga, hubungan Beijing dengan Hong Kong berjalan dinamis, dan iklim investasi baik dari dalam maupun luar negeri semakin meningkat. Hal ini tentu saja berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi Hong Kong dan memberikan kepuasan masyarakat pada pemerintah. Ekspor Hongkong ke daratan tahun 2006 mencapai puncak: HKD 8,3 miliar (Rp 9,545 triliun). Investasi Hongkong di daratan mencapai HKD 9, 2 miliar (Rp 10,580 triliun). Sedangkan investasi daratan ke Hongkong mencapai HKD 5, 1 miliar (Rp 5,865 triliun). Untuk terus meningkatkan hubungan ekonomi, pemerintah kedua wilayah menerapkan sistem perdagangan bebas yang menyebutkan bahwa impor barang dari dua negara tidak dikenai bea masuk. Kebijakan ini berlaku bagi 38 item jenis perdagangan dan akan ditambah lagi 11 jenis di masa akan datang.

Apabila kedua hal ini berjalan dengan konsisten, maka Hong Kong bersama dengan China akan segera menyusul pertumbuhan ekonomi Jerman yang saat ini menduduki urutan tiga besar setelah AS dan Jepang. Hong Kong tetap akan menjadi pusat keuangan, perdagangan, logistik, pariwisata dan pelayaran internasional.

Penutup
Perang Opium I antara China dan Inggris yang terjadi pada tahun 1839-1842 terhadi karena Inggris memasarkan opium di wilayah China secara ilegal dan menyebabkan jutaan rakyat China kecanduan opium. Inggris berhasil mengalahkan China dalam perang ini dan memaksanya menandatangani perjanjian Nanjing yang salah satu isinya adalah China harus menyerahkan wilayah Hong Kong kepada Inggris.

Pada tanggal 1 Juli 1997 Hong Kong dikembalikan kepada pemerintah China. Untuk menjaga integrasi dan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, pemerintah China menerapkan konsep satu negara dua sistem. Konsep tersebut membiarkan Hong Kong tetap menerapkan sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi.

Paling tidak ada dua hal yang menjadikan Hong Kong sukses dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya hingga sekarang, yaitu: pertama, pemerintah Hong Kong memfokuskan pengembangan sektor pariwisata sebagai sumber devisa utama karena sektor perdagangan sejak krisis moneter Asia tahun 1997 mengalami penurunan; kedua, Beijing menerapkan sistem satu negara dua sistem dengan konsisten, sehingga kestabilan politik tetap terjaga, hubungan Beijing dengan Hong Kong berjalan dinamis, dan iklim investasi baik dari dalam maupun luar negeri semakin meningkat. Dengan begitu, Hong Kong diharapkan akan tetap akan menjadi pusat keuangan, perdagangan, logistik, pariwisata dan pelayaran internasional.

Andri Vista Medina @yahoo.com

Monday, September 14, 2009

WISUDA BMI DI HONG KONG OLEH AVM HONGKONG LIMITED




Hari minggu, tanggal 15 Februari 2009 merupakan salah satu hari yang paling membahagiakan dan paling istimewa bagi wisudawan dan wisudawati jurusan INFORMATION TECHNOLOGY. Acara Pelepasan Wisuda dimulai dari pukul 12.00 WIB di Kampus HONGKONG ART CENTER COMMUNICATION, TIN HAU HONG KONG.

 Para wisudawan dan wisudawati pertama jurusan INFORMATION TECHNOLOGY (I.T). Acara Pelepasan Wisuda kali ini bertema “Education for Better Futures”. Tema tersebut pastinya mempunyai sebuah makna. Yaitu ‘Pendidikan bekal di masa depan’ adalah gambaran moment yang sedang dialami oleh wisudawan dan wisudawati yang berada di Hong Kong untuk mengoptimalkan waktu dan kesempatan guna meraih masa depan yang gemilang. Tidak luput juga yang terhormat turut hadir dalam acara wisuda tahun ini Director Kebebasan English John Ricard Wesley, Director Last Minutes Communication Limited Kiran Dangol serta Director of AVM HONGKONG Limited Andri Vista Medina serta Bapak Dr.(HC). SUTIYOSO, S.H CAPRES 2009 ikut menghadiri dan memberikan sambutan serta meresmikan Orgasisasi BANGYOS CENTER OF HONGKONG dan ASOSIASI PENGUSAHA INDONESIA HONGKONG (A.P.I.H) sebagai wadah yang dapat menaungi para TKI dan Pengusaha Indonesia untuk lebih mengoptimalkan kemampuan dan kreatifitas dalam memajukan ekonomi keluarga dan bangsa.

Kemudian acara selanjutnya adalah Foto Corner  . Dalam acara ini, para wisudawan dan wisudawati dapat mengabadikan moment special mereka bersama dengan para wisudawan dan wisudawati yang lain. Setelah acara jeprat-jepret selesai, dan dilanjutkan dengan acara bebas mahasiswa sampai selesai

Aksi Aliansi BMI-Hong Kong Cabut UU PPTKILN. 5 April 2009

ALIANSI BMI HONG KONG CABUT UU PPTKILN
C/o IMWU, 4/F, 32 Jardine Mansion, Jardine Bazzar, Causeway Bay

Juru Bicara:
KARSIWEN ( 852-91405357)
SRINGATIN (852-91422755)

Press release


Causeway Bay, Minggu, 5 April 2009

Menjelang pemilu 2009, Aliansi Cabut UU No. 39/2004, yang terdiri dari 41 organisasi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hongkong, kembali beraksi di depan KJRI Hongkong. Tidak kurang 300 orang dari berbagai organisasi massa BMI di Hong Kong, bergabung memekikkan suara mereka dalam aksi kali ini menuntut pencabutan UU PPTKIL dan segera ratifikasi konvensi buruh migran.

Aksi yang diawali dengan penggalangan massa di daerah Victoria Park yang menjadi pusat kegiatan BMI ini dibagi di 3 titik. Yakni di Lapangan Rumput, Kolam perahu, dan di depan Perpustakaan. Sekitar jam 12.00, Massa dari 3 Titik yang berhasil digalang berkumpul di samping Sogo, yang menjadi start march ke KJRI. Disini, massa aksi melakukan _performance_ dengan menyanyikan lagu-lagu progresif dengan diiringi tabuhan rebana dari organisasi keagamaan. Aksi ini mengundang perhatian bagi warga sekitar dan wisatawan asing yang kebetulan berlalu-lalang disekitar tempat itu. Baru sekitar jam 13.15, massa bergerak menuju KJRI.

Dalam aksi kali ini, BMI Hongkong, mewakili suara buruh migran Indonesia yang tersebar di seluruh dunia, mendesak pemerintah Republik Indonesia, sesegera mungkin mencabut UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Selain itu BMI Hongkong juga mendesak pemerintah RI untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990, tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya, serta melibatkan BMI dalam setiap proses pembuatan kebijakan buruh migran.

Karsiwen, wakil ketua ATKI, membeberkan berbagai kelemahan UU 39/2004 dan imbas yang yang diterima BMI karena kelemahan UU tersebut.

“Sudah bukan rahasia lagi jika UU No. 39/2004 ini hanya merupakan legalisasi atas pemerasan dan penindasan terhadap BMI, karena UU tersebut hanya memuat pengaturan pengiriman BMI ke luar negeri, yang sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta yakni PJTKI/PPTKKIS. Bahkan dengan UU tersebut, PJTKI menjadi penguasa dalam urusan pengerahan BMI ke luar negeri yang kebal hukum, karena di dalamnya tidak tercantum satu ayat pun yang memuat tentang sangsi, bagi PJTKI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap hak-hak BMI dalam bentuk pemerasan dan penindasan”ujar BMI yang akrab dipanggil dengan nama Iweng.

Kenyataan yang ada sekarang ini memanglah demikian. Dengan adanya keleluasaan yang didapat itu, PJTKI bisa berbuat seenak peerut dalam memperlakukan BMI. Lihatlah apa yang terjadi sekarang, seperti; informasi yang tidak transparan, training centre yang lebih mirip penjara, biaya penempatan yang sangat tinggi, upah yang jauh dibawah standar, potongan gaji yang kadang tidak masuk akal, penahanan dokumen, pelecehan seksual, belum lagi pungutan liar di Terminal khusus TKI di bandara dan berbagai bentuk pelanggaran lain. Seolah-olah penderitaan BMI menjadi korban penindasan yang tumpah-tindih.

Iweng juga menyinggung masalah pemilu 2009 dalam orasinya.

“Selama ini, pemilu di Indonesia tidak menghasilkan perubahan terhadap keadaan BMI. Yang ada adalah penderitaan BMI dari setiap pemilu ke pemilu semakin bertambah dalam. Pemilu yang ada bukanlah menghasilkan perintahan baru yang peduli terhadap rakyatnya, melainkan hanya pergantian rejim kekuasaan saja.”

Sementara itu Anik Setyo, Wakil Ketua IMWU, dalam orasinya mengatakan pentingnya ratifikasi Konvensi Buruh Migran.

“Selama ini, pemerintah Indonesia belum mempunyai UU perlindungan BMI, yang ada UU No 39 yang pada hakekatnya merupakan UU penempatan. Pada tahun 2004 pemerintah sudah menandatangani konvensi ini, namun sampai hari ini pemerintah menanggalkan komitmen untuk meratifikasi konvensi tersebut. Mengapa hal demikian terjadi? karena sudah tentu jika pemerintah melakukan ratifikasi, uang yang menjadi pemasukan bagi PJTKI dan pejabat korup negara akan berkurang. Hal inilah bukti bahwa pemerintah indonesia sekalipun selain PJTKI, tidak pernaah melihat BMI sebagai manusia, namun sebagai barang dagangan. Lebih-lebih ditengah situasi krisis umum yang terjadi hari ini. Rafitikasi Konvensi Buruh Migran adalah perlu! BMI butuh perlindungan!” terang wakil ketua IMWU

Anik Setyo juga menyinggung pelayanan KJRI yang sangat minim.

“Selama ini, KJRI yang digaji dari hasil keringat kita, masih enggan membukakan pintu buat kita. Kita dianggap semakin goblok dan diposisikan masih saja sebagai pembantu yang tidak pantas untuk dilayani. Pelayanan yang tutup dihari sabtu dan buka hanya 2 jam di hari Minggu mengisyaratkan bahwa KJRI hanya setengah hati melayani kita yang telah menggaji mereka!” Ujarnya.

Diakhir orasi, mereka berdua mengatakan hal yang senada, yakni pentingnya
diikutsertakannya BMI dalam setiap proses pembuatan peraturan dan kebijakan tentang BMI. Rencana amandemen UU 39/2004 hanyalah usaha pemerintah untuk
memenuhi target pengiriman BMI keluar negeri sebanyak 1-2 juta orang pertahun. Dan bukan berpihak kepada perbaikan perlindungan BMI itu sendiri.

Jam 2.30 aksi berakhir, setelah sebelumnya seorang staff KJRI keluar menerima statement dari aksi siang itu. Saat itu pula, tanpa dikomando lagi, 300 orang lebih yang bergabung dalam aksi tersebut langsung berteriak-teriak histeris, mengucapkan yel-yelnya. Mengatakan KJRI harus buka sabtu-minggu. Karena BMI sangat membutuhkan layanan dan hanya punya kesempatan dihari itu. Tetapi staff KJRI ini hanya menerima statement tanpa berkomentar sepatahpun. Tersenyum pun tidak.

Sekali lagi, KJRI menampakkan wajah tak bersahabat terhadap BMI.